Rentetan foto dan video sadis kini menjadi keseharian kita di media massa dan media sosial. Saya hanya ingin memastikan, itu bukan film apalagi hoax. Tak ada pemeran utama atau figuran di sana. Itu betul-betul adegan nyata di Rakhine, Myanmar, tempat terseram di dunia, dimana mencabut nyawa manusia, semudah mencabut rumput. It's not a movie!
Sungguh aneh, ketika dunia terkoneksi tanpa sekat, masih ada segolongan manusia yang membunuh atas nama agama dan ras. Ketika dunia sepakat memerangi terorisme, Rohingya justru terpinggirkan, dengan dalih pembataian itu bukan masalah agama. Tindakan bar-bar justru jadi solusi dalam mengatasi masalah.
Ini seperti menguak tragedi pembersihan etnis Serbia di Srebenica, pada 1995 yang menewaskan 7.000 warga Muslim. Dunia mencatat Srebrenica adalah genosida terbesar di Eropa setelah perang dunia kedua. Walau dibantah dengan berbagai dalih, termasuk dalih agama, toh Mahkamah Kejahatan Perang Internasional memvonis seumur hidup para pejabat atas pembantaian di Sebrenica.
Lebih dari 40 ribu nyawa warga Rohingya hilang dan ratusan ribu lainnya harus mengungsi dari tanah kelahirannya. Namun 'tumbal' itu belum mampu menggerakkan hati para pemimpin dunia, meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 2013 menempatkan Rohingya, sebagai etnis paling teraniaya di dunia.
Pembantaian ini semakin meyakinkan saya bahwa Nobel Perdamaian itu cuma piala abal-abal, jika tak segera dicabut dari Aung San Suu Kyi, wanita berusia 72 tahun, aktivis prodemokrasi Myanmar dan pemimpin National League for Democracy, yang tanganya berlumuran darah warga Rohingya. Meski tak memimpin langsung karena konstitusi Myanmar produk junta militer melarang perempuan jadi pemimpin, tapi semua tahu Suu Kyi pemimpin secara de facto.
Tragisnya, pembantaian itu ada di teras rumah kita bernama ASEAN. Negara yang mudah kita jangkau dan sentil, dengan bahasa Jenderal Nagabonar 'Apa kata dunia'. Bukankah ASEAN itu dibentuk karena ingin meredakan semangat 'Ganyang Malaysia?'. Bayangkan jika ASEAN tak dibentuk, semangat 'Ganyang Malaysia' mungkin belum redup.
Dengan semangat ASEAN, Indonesia harus punya gigi 'menggigit' Myamar. Amunisinya banyak, penarikan Duta Besar RI di Myanmar, pencoretan sebagai peserta Asian Games 2018, embargo ekonomi, pengusiran Dubes Mynmar dari Jakarta, hingga pengiriman Pasukan Perdamaian bersama PBB.
Itu bekal bagi Presiden Joko Widodo berdiplomasi dengan Aung San Suu Kyi. Seharusnya itu sudah kita lakukan di SEA Games XXIX Kuala Lumpur dengan menolak berlomba dan bertanding di cabang olahraga yang diikuti Mynamar. Tapi semua belum terlambat, kita masih ada Asian Games 2018. Sampaikan ke Aung San Suu Kyi, Indonesia tak dapat menjamin keselamatan kontingen Myanmar selama di Indonesia.
Tabik puuunnn....
�
Amiruddin Sormin
Wartawan Utama
Berikan Komentar
Sebagai salah satu warga Bandar Lampung yang jadi korban...
4141
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia