Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Ketua PAN dan Anggota DPD RI Terlibat Fee Proyek Lampung Selatan, Suap Juga Kejahatan Korupsi
Lampungpro.co, 08-Apr-2021

Amiruddin Sormin 1842

Share

Dr. Eddy Rifai, pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung. LAMPUNGPRO.CO/AMIRUDDIN SORMIN

BANDAR LAMPUNG--Direktur CV Imam Jaya Teknik Imam Sudrajat mengaku pernah meminjamkan perusahaannya, kepada anggota DPD RI asal Lampung AB, untuk mengikuti tender dan mengerjakan proyek di Dinas PUPR Lampung Selatan sejak 2016. Dari hasil peminjamannya ini, Imam dijanjikan akan mendapatkan gaji dan akomodasi dari AB.


Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan kasus suap fee proyek Dinas PUPR Lampung Selatan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang Bandar Lampung pada Rabu (7/4/2021). Dalam persidangan, Imam juga mengaku pernah diperintah AB, agar mencarikan perusahaan lainnya untuk dipinjam di 2017. Setelah itu berhasil didapat 12 perusahaan yang akan diploting dan dijadikan pemenang lelang di 2017.

"Saya baru mengetahui proses pemenang proyeknya, setelah ada yang mengumumkan pemenangnya. Saat itu yang memenangkan proyek, dihadirkan untuk tanda tangan kontrak, lalu saya tandatangani pekerjaan itu senilai Rp7 miliar," kata Imam Sudrajat dalam persidangan. 

Setelah menandatangani itu, perusahaan Imam mendapatkan 12 paket proyek yang dikerjakan dengan nilai Rp38 miliar. Demikian berita Lampungpro.co (7/4/2021) yang dilanjutkan dengan berita lain pada hari yang sama tentang Ketua DPD PAN Bandar Lampung WL mengaku diminta setor fee proyek senilai Rp2,15 miliar, dari total proyek yang didapat senilai Rp14,5 miliar. 

Ada pun rincian proyeknya pada 2017 mendapat proyek Rp7 miliar dan tahun 2018 Rp7,5 miliar, dalam dua tahun mengerjakan proyek di Lamsel, sebagaimana terungkap dalam sidang lanjutan kasus suap fee proyek Dinas PUPR Lampung Selatan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang Bandar Lampung pada Rabu (7/4/2021). Dalam kesaksiannya, WL diketahui mendapat proyek di Lampung Selatan tahun 2017 bertemu Kadis PUPR Hermansyah Hamidi.

"Dia menanggapi nanti akan dikasih, lalu kasih pekerjaan kemudian wajib membayar setoran 20 persen dari nilai proyek. Saat itu Hermansyah memploting proyek senilai Rp7 miliar, teknis selanjutnya diberikan ke anggota DPRD Lampung Agus Bhakti Nugraha (ABN)," kata WL dalam persidangan.

Selanjutnya ia diminta menyerahkan fee 20 persen itu melalui ABN, kemudian WL mengerjakan proyek dengan menyewa perusahaan saudaranya, karena ia tidak memiliki perusahaan yang berkaitan dengan kontraktor. WL kemudian menyerahkan uang ke ABN Rp1,4 miliar, yang ditaruh di dalam kantong kresek.

Kemudian pada 2018 ikut proyek lagi, prosesnya langsung dikasih pekerjaan lewat Anjar Asmara. Prosesnya saat itu diberi kepercayaan mendapat paket Rp7,5 miliar, dia datang ke kantor saya di Kantor DPD PAN Bandar Lampung," ujar WL.

Selanjutnya dari nilai proyek itu, WL kembali diminta fee 10 persen dari nilai proyek sekitar 250 juta. Setelah itu ia berkomunikasi dengan Syahroni, untuk bertemu di Hotel Aston Bandar Lampung. Saat pertemuan, disampaikan pesan Anjar ada kegiatan untuk WL dalam bentuk catatan tulisan.

Selanjutnya WL memberikan uang ke Anjar Asmara karena dia yang minta. Kesepakatan fee dua bulan setelahnya, saat itu bilang minta dibantu diminta pertama Rp500 juta lalu Rp250 juta total Rp750 juta. Terkait proyek di tahun 2017, WL mendapat 11 paket pekerjaan, lalu pada 2018 juga mendapat 11 paket.

Dari pemberitaan di atas, tampak terang benderang adanya perbuatan suap atau gratifikasi sebagai kejahatan korupsi. Suap sebagai kejahatan korupsi memang merupakan suatu ketentuan baru yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) yang mulai diundangkan dengan UU No 3 Tahun 1971 dan kemudian diganti dengan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001. Tetapi semua ketentuan tentang suap tersebut dioper dari KUH Pidana dalam kaitan dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten).

Pasal-pasal KUHP yang dioper ke UUTPK adalah Pasal 209 KUHP yang mengatur penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap pegawai negeri dan Pasal 419 KUHP yang mengatur penyuapan pasif (passieve omkooping atau passive bribery) yang mengancam pidana terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. Kemudian Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat hukum di pengadilan serta Pasal 420 KUHP yang mengatur tentang hakim dan penasihat hukum yang menerima suap. Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk gratifikasi yang diatur dalam Pasal 418 KUHP kemudian juga dioper menjadi tindak pidana korupsi dengan merumuskan gratifikasi sebagai pemberian hadiah yang luas dan meliputi pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Suap Sebagai 'Budaya' Kolonial 

Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa budaya suap berasal dari budaya kolonial Hindia Belanda yang pada waktu lalu membagi penduduk dalam tiga bagian yaitu bumi putera (pribumi), timur asing (pengusaha), dan Eropa (penguasa). Terjadi suap menyuap antara pengusaha dan penguasa agar pengusaha dapat melancarkan usahanya dan penguasa melanggengkan kekuasaannya. Dengan demikian dianggap seolah-olah perbuatan suap adalah kebiasaan umum dan bukan perbuatan tercela. 

Padahal suap-menyuap (bribery) bukanlah suatu tindak pidana biasa. Dalam teori hukum pidana, perbuatan ini dikategorikan sama dengan tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan, dan pencurian. Perbuatan suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan mala prohibita. 

Konsep mala per se yang dilandasi oleh pemikiran natural wrongs menganggap bahwa kejahatan-kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan melarangnya. Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah.

Adapun konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah melarangnya, sehingga disebut sebagai regulatory offenses. Contohnya ialah pelbagai peraturan tata tertib di pelbagai bidang kehidupan yang diperlukan dalam rangka untuk menegakkan tertibnya kehidupan modern.

Kejahatan suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk memengaruhi (influencing) agar yang disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Para pelaku, baik aktor intelektual maupun aktor pelakunya, telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum maupun norma-norma sosial yang lain (agama, kesusilaan, dan kesopanan).

Dunia internasional mengkriminalisasikan suap-menyuap sebagai kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Menurut Muladi (2005), banyak sekali instrumen regional (misalnya EU, Inter-American, African Union, Southern African Development Community) ataupun organisasinya (misalnya OECD, GRECO) yang merumuskan untuk mencegah dan memberantas korupsi termasuk suap-menyuap. Dalam pertumbuhannya, instrumen-instrumen itu mengerucut dalam bentuk UN Convention Against Corruption, Vienna, 2003.

Penanggulangan Suap

Salah satu kelemahan dari UUTPK tentang suap adalah adanya ancaman pidana yang berbeda-beda antara pemberi dan penerima suap. Dalam Pasal 5 UUTPK ancaman pidananya maksimal 5 tahun, sedangkan dalam Pasal 12 UUTPK ancaman pidananya maksimal 20 tahun. Dalam penegakan hukum pidana, penerapan pasal ini seringkali tidak konsisten, dimana pemberi suap diancam dengan Pasal 5 UUTPK sedangkan penerima suap diancam dengan Pasal 12 UUTPK. Oleh karena itu, banyak penyuap yang melakukan tindakan suap karena hukumannya sangat ringan.

Selanjutnya, penanggulangan lainnya adalah dengan menerapkan pembuktian terbalik mutlak dalam tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik yang selama ini ada bersifat terbatas dan berimbang sebagaimana yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Kelemahan dari pasal ini adalah penerapan pembuktian terbalik baru dapat diterapkan ketika seseorang menjadi terdakwa, sehingga tidak dapat diterapkan terhadap seseorang yang belum menjadi terdakwa. Dengan demikian, menjadikan pasal ini tidak efektif dalam menanggulangi tindak pidana suap. 

(Dr. Eddy Rifai, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung)

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya
Lampung Dipimpin Mirza-Jihan: Selamat Bertugas, "Mulai dari...

Dukungan dan legacy yang besar, juga mengandung makna tanggung...

24710


Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved