Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Produk Pangan Olahan Indonesia, Cuma Halal Tapi tak Sehat, Ancaman Serius Indonesia Emas 2045
Lampungpro.co, 02-Jun-2025

Amiruddin Sormin 1993

Share

Amiruddin Sormin. LAMPUNGPRO.CO

Tabik puuunnn.…

Saya menulis ini dalam suasana duka mendalam atas wafatnya anak tetangga yang gagal ginjal. Dia gadis belia usia 24 tahun, wafat setelah dua kali seminggu cuci darah pada Senin (2/6/2025).

Menurut riwayat, gadis ini rutin mengonsumsi minuman yang iklannya bisa menggantikan ion tubuh, minuman teh kemasan, dan fast food seperti sosis dan sejenisnya. Kebetulan kantornya bersebelahan dengan minimarketz sehingga mudah mendapatkan makanan dan minuman itu

Tentu saja semua pangan olahan yang dia konsumsi itu berlogo 'Halal' seperti gunungan wayang kulit itu. Label itu kini memang mudah ditemukan pada kemasan makanan dan minuman di Indonesia.

Namun di balik kehalalan produk tersebut, muncul kekhawatiran baru. Apakah makanan halal juga otomatis toyyib atau baik untuk kesehatan, sebagaimana diajarkan dalam ajaran Islam?

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia menjadikan sertifikasi halal sebagai standar penting dalam industri pangan. Namun, banyak produk olahan yang meskipun bersertifikat halal, justru mengandung kadar gula berlebih, pengawet sintetis, dan pewarna makanan buatan yang dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi terus-menerus.

Konsep halalan toyyiban dalam Islam yang tercantum dalam Alquran.Surah Al-Baqarah Ayat 168, Al-Maidah Ayat 88, Al-Anfal Ayat 69, dan An-Nahl ayat 114 merupakan beberapa contoh surah Alquran yang mengandung konsep halalan thayyiban. Konsep ini menekankan pentingnya memperoleh dan mengonsumsi makanan yang halal (sesuai syariat) dan baik (thayyib).

"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan..." (Al-Baqarah Ayat 168). Ayat ini menyiratkan bahwa selain halal secara hukum agama, makanan juga harus baik dari sisi nutrisi dan manfaatnya bagi tubuh.

Sayangnya, realitas di lapangan belum mencerminkan nilai tersebut secara menyeluruh. Banyak produk makanan kemasan lokal di pasaran yang mengandalkan rasa enak, gurih, dan manis, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan. Mulai dari minuman teh kemasan, permen, hingga sosis dan nugget instan, kandungan gula, natrium, dan zat aditif sintetis di dalamnya tergolong tinggi.

Apa yang menimpa anak tetangga saya itu, selaras dengan laporan Kementerian Kesehatan 2024 menunjukkan tren mencemaskan: prevalensi pradiabetes dan diabetes pada usia muda di Indonesia meningkat signifikan. Sekitar 1 dari 5 remaja usia 15–24 tahun terdeteksi memiliki kadar gula darah di atas normal. Pola konsumsi makanan instan dan minuman manis menjadi penyumbang utama masalah ini.

Padahal, kelompok usia muda ini adalah masa depan bangsa dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, yang semestinya tumbuh dengan gizi optimal. Ironisnya, mereka justru menjadi pasar terbesar bagi produk-produk yang tidak ramah kesehatan.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) RI yang kini dipimpin oleh ulama Ahmad Haikal Hasan alias Babe Haikal telah berhasil memperluas cakupan sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, obat, hingga kosmetik. Namun, tugas lembaga ini seharusnya tidak berhenti pada aspek kehalalan saja.

Sudah saatnya BPJPH bersama Kementerian Kesehatan dan BPOM menyusun standar baru yang tidak hanya memastikan kehalalan. Tetapi juga kebaikan atau kualitas kesehatan makanan. Artinya, sertifikasi halal ke depan sebaiknya menyertakan aspek gizi layak, batas zat aditif, serta risiko terhadap penyakit metabolik.

Agar masyarakat terlindungi dari bahaya jangka panjang konsumsi makanan yang tidak sehat perlu revisi standar sertifikasi halal: Sertifikat halal harus mencakup evaluasi kesehatan pangan berbasis rekomendasi WHO dan Kementerian Kesehatan.

Kemudian, program sosialisasi tentang makanan halalan toyyiban perlu digencarkan di sekolah dan kampus.Setiap produk harus menampilkan label gizi yang disederhanakan agar konsumen bisa memilih secara sadar. Terakhir, mendorong pelaku usaha untuk menciptakan makanan halal yang juga rendah gula, tanpa pengawet, dan berbahan alami.

Seharusnya, label halal adalah langkah awal, bukan tujuan akhir. Agar umat Islam dan seluruh masyarakat Indonesia benar-benar mendapatkan keberkahan dari makanan yang dikonsumsi. Maka prinsip halalan toyyiban harus ditegakkan dalam arti sebenarnya—baik dari sisi syariat maupun medis. Tanpa itu, generasi muda kita hanya akan mewarisi penyakit dari rasa enak yang menyesatkan. (***)

Salam,

Amiruddin Sormin (Wartawan Utama)

#

Berikan Komentar

Anonymous


Informasi yang sangat bermanfaat. thanks Unissula

Kopi Pahit

Artikel Lainnya

Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved