Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Catatan untuk Pemerintahan Mirza-Jihan: Kawal Harga Singkong di Lampung dengan Industrialisasi dan Hilirisasi
Lampungpro.co, 13-Jan-2025

Amiruddin Sormin 39428

Share

Petani gelar aksi cabut singkong karena harga anjlok (kiri) dan Gubernur Lampung Terpilih Rahmat Mirzani Djausal. LAMPUNGPRO.CO

BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Petani singkong di Lampung pernah merasakan masa keemasan pada 2006-2013. Di era itu, harga singkong mencapai Rp2.000/kg.

Ya, ketika itu teknologi pengolahan singkong di Lampung sedikit lebih maju melompat dari zaman Majapahit yang cuma mengolah singkong jadi tape dan tepung, menjadi ethanol. Kehadiran industri ethanol di Lampung Timur, Lampung Tengah, dan Lampung Utara, membuat harga singkong stabil, dengan rata-rata Rp2.000/kg.

Bandingkan dengan tuntutan petani dari berbagai unjuk rasa di Lampung Utara, Lampung Tengah, Mesuji, dan Lampung Timur, yang menuntuk harga singkong Rp1.400/kg segera diberlakukan.

Kompetitor baru industri tapioka ini, rupanya ampuh menggerek harga singkong. Sayangnya, negara belum hadir mengawasi persaingan tata niaga singkong, sehingga yang berlaku adalah hukum rimba.

Negara melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), hingga kini belum hadir dan melirik persaingan curang dalam penetapan harga singkong oleh sekelompok perusahaan yang cenderung memonopoli industri pengolahan singkong di Lampung. Akibat praktek oligopoli dan monopoli harga singkong yang tak tersentuh hukum itu, membuat raksasa migas sekelas PT Medco Energi, harus melambaikan tangan sambil mengucapkan 'Sayonara Lampung'.

Anehnya, nyaris tak ada yang meratapi kematian industri ethanol berbahan singkong di Lampung. Semua dianggap mekanisme pasar saja, bukan karena praktek curang.

Korporasi besar migas PT Medco Energi Internasional Tbk, melalui anak perusahaan PT Medco Ethanol Lmpung (MEL), harus menanggung kerugian sebesar USD 20 juta akibat menutup pabrik atau kilang ethanol miliknya di Lampung Utara. Produksi bahan petrokimia sejenis alkohol yang dapat berfungsi sebagai bahan bakar nabati ini dihentikan, karena kesulitan bahan baku.

Berdasarkan data media Dunia Energi, kilang ethanol PT Medco Ethanol Lampung yang tutup itu dapat mengolah bahan baku dari singkong dan tetes tebu. Namun kedua bahan baku itu semakin sulit didapatkan.

Sebenarnya, PT Medco Ethanol Lampung mencoba bertahan dengan beralih bahan baku dari singkong menjadi tetes tebu. Namun strategi industri tapioka yang menaikkan harga singkong membuat perusahaan kalah saing.

Ternyata strategi menaikkan harga itu, hanya sementara. Mati dan hengkangnya sejumlah industri ethanol dari Lampung membuat industri tapioka dengan mudah kembali mengontrol harga. Strategi harga Rp2.000/kg hanya bertahan dua tahun dan setelah industri ethanol gulung tikar, perlahan harga singkong pun ikut anjlok, hingga kini.

Itu sebabnya, produksi singkong Lampung tertinggi dicapai pada 2014 yakni 8 juta ton. Setelah itu, perlahan produksi singkong anjlok hingga pada 2019 tinggal 4 juta ton. Penurunan produksi ini karena petani beralih ke komoditas lain seperti tebu, karet, dan kelapa sawit.

Kematian ittara dan industri ethanol karena bahan baku, merupakan ironi dari provinsi penghasil singkong terbesar nasional. Kematian itu ibarat pepatah 'ayam mati di lumbung padi'. Siapa yang mematikan industri ethanol dan apa motifnya? Pertanyaan inilah yang seharusnya bisa segera dijawab negara melalui KPPU.

Kematian ini juga seharusnya titik awal pembenahan tata niaga bisnis singkong di Lampung. Pasalnya, sampai kapan pun jika iklim usaha persaingan tidak sehat tetap dibiarkan terjadi, hilirisasi produk singkong cuma isapan jempol dan bahan kampanye menarik dukungan petani singkong.

Kematian industri ethanol adalah sinyalemen buruk betapa tak kondusifnya iklim investasi di provinsi berjuluk Sang Bumi Ruwai Jurai ini. Dua kematian itu sekaligus menjadi catatan buruk, betapa hilirisasi singkong di Lampung gagal total dan hanya boleh untuk tepung tapioka.

Pemerintahan Gubernur Terpilih Rahmat Mirzani-Jihan Nurlela (MIrza-JIhan) yang akan memimpin Lampung lima tahun ke depan (2025-2029), sebenarnya punya momentum emas membenahi carut-marut tata niaga singkong melalui Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden RI, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Momentum itu setidaknya pada Asta Cita ke-5 dan ke-6 yakni, melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Kemudian, membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.

Kegaduhan Singkong Lampung

Menurut catatan Lampungpro.co, kegaduhan singkong di Lampung dalam beberapa bulan terakhir akibat anjloknya Harga singkong di berbagai sentra. Menurut kalangan industri tepung tapioka, kondisi ini akibat produksi berlebih dan rendahnya mutu singkong. Sehingga kalah bersaing dengan taping tapioka produksi Thailand dan Kamboja.

Menurut catatan PT Sinar Pematang Mulia (SPM) Tulang Bawang, rata-rata harga singkong di pabrik sebesar Rp1.285 hingga Rp1.335, dengan potongan bervariasi 20% hingga 30%. Besarnya potongan karena usia tanaman di bawah sembulan bulan.

Kemudian, varietas singkong yakni tidak kasesa sebagai standar yang kurang kadar acinya. Banyak tanah tertinggal di singking karena basah, bonggol singkong yang masih menempel banyak, dan lama pengangkutan dari lapangan atau lapak ke pabrik.

Bila singkong petani dikirim ke lapak non perusahasn harga dan potongan tergantung pihak lapak. Perinciannya, jika rata-rata harga singkong Rp1.300 dan potongan rata-rata 25%, maka harga bersih di petani Rp975 kg. Untuk perhitungan biaya tapioka per kg atas harga singkong adalah Rp3.900 atau 4 kg ntuk rendemen 20% dan Rp4.875 atau 5 kg rendemen 25%.

Peran pemerintah Mirza-Jihan adalah bagaimana meningkatkan mutu produksi petani dan harga-harga bahan pengolahan lahan, pupuk, dan obat-obatan. Dibarengi dengan peningkatan teknologi, mutu bahan, efisiensi, dan keikutsertaan para ahli pertanian.

Menjaga kualitas singkong produksi petani rendah kadar aci karena dipanen muda yakni lima bulan dari seharusnya di atas 9 bulan. Selain itu, varietas yang ditanam kalah jauh dengan petani di Thailand dan Kamboja.

Menurut Dosen Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila), Dr. Ir. Erwanto, M.S., ubikayu atau singkong masih prospektif untuk ketahanan pangan dan energi, kesejahteraan petani, pertumbuhan ekonomi, dan komoditas ekspor. "Ubikayu merupakan bahan baku industri pangan, energi, kosmetik, dan farmasi. Produksi ubikayu Indonesia berada di peringkat 6 dunia, share 4,8% (14,59 juta metric ton tahun 2019). Share ubikayu Lampung 34,6% produksi nasional tahun 2018," kata Erwanto, Senin (13/1/2025).

Sayangnya, kata dia, selama puluhan tahun agribisnis ubikayu di Lampung lebih sering menimbulkan kegaduhan. Akar permasalahan adalah tingginya harga pokok produksi (HPP), rendahnya produktivitas, serta tingginya supply-demand gap. "Belum ada solusi, kebijakan cenderung berupa pendekatan pemadam kebakaran, Penetapan kesepakatan harga saja tidak akan pernah efektif," kata Erwanto yang juga anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Provinsi Lampung itu.

Sebagian besar petani di Lampung, kata dia, passion-nya adalah bercocok tanam ubikayu. Mengimbau mereka pindah komoditas tidak sederhana.

Agribisnis ubikayu yang tidak terurus berujung pada economic loss, setara Rp1 triliun hingga Rp2 triliun lebih per tahun. "JJka berhasil diselamatkan, dana lepas tersebut akan mengalir ke petani, industri, PAD, dan dapat membiayai program mediated partnership," kata Erwanto.

Sebagai solusi jangka pendek, kata Erwanto, disusun kesepakatan baru tentang harga minimum dan rafaksi maksimum. Kesepakatan 2021 bisa menjadi acuan perhitungan kesepakatan baru, bisa menggunakan angka interest rate atau angka inflasi. "Kesepakatan baru harus lebih rinci dan ada implikasi sanksi. Kemudian, perlu dibentuk tim montoring dan evaluasi implementasi kesepakatan baru itu," kata dia.

Sumber daya agribisnis ubikayu perlu dikonsolidasikan guna meraih economic opportunity dan menekan economic loss. Harus ada inisiatif cerdas transformasi agribisnis ubikayu.

Pelaku bisnis dikonsolidasikan di dalam klaster agribisnis ubikayu (petani, Industri Kecil Menengah (IKM), Industri Besar (IB), dan lainnya). Lalu, disusun spesialisasi petani di sektor budidaya, IKM dan IB di sektor hilir. Petani dikonsolidasikan dalam gapoktan atau koperasi untuk kemudian dimitrakan dengan IKM atau IB tapioka. Bentuk kemitraan kemitraan terkawal," kata Erwanto.

Pembenahan itu, harus dari hulu ke hilir, melibatkan multistakeholder, mulai dari regulasi, budidaya, hingga industri pengolahan. Dari sisi regulasi, pemerintahan Mirza-Jihan harus memastikan kehadiran negara melalui KPPU mengawasi Lampung bebas praktek curang tata niaga singkong.

Tanpa pengawasan KPPU, tragedi matinya industri ethanol bakal berulang. Mirza-Jihan harus memanfaatkan Asta Cita Presiden Prabowo untuk cawe-cawe mengawasi agribisnis singkong.

Buka lebar-lebar keran hililirasasi dan industrilisasi pengolahan singkong masuk Lampung untuk mendukung program bioenergi, energi hijau, dan energi baru terbarukan yang dicanangkan Presiden Prabowo. Sekaligus menjadi pilihan agar singkong tak hanya diolah jadi tepung tapioca.

Negara harus cawe-cawe di agribisnis singkong agar tak berlaku hukum rimba seperti selama ini! (***)

Penulis: Amiruddin Sormin (Wartawan Utama, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Lampung, Pengurus ICMI Orwil Lampung).

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya
Terusan Nunyai Lampung Tengah Membara, Medsos Membakar...

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan media sosial dapat menjadi alat...

722


Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved